Amsal 29:15
Kecenderungan pendidikan anak zaman
modern ini adalah dengan membiarkan anak usia 0-2 tahun berbuat semaunya. Anggapan yang mendasari pembiaran ini adalah
berkisar pada pemikiran bahwa anak masih belum tahu apa-apa, atau anak masih
terlalu kecil untuk mengerti mana yang baik/buruk dan benar/salah, atau anak
masih belum membutuhkan moral kompas tetapi yang dibutuhkan hanyalah makanan
yang cukup dan pakaian yang baik serta rumah yang bisa melindungi, atau juga
anggapan bahwa tidak apa-apa anak melakukan hal-hal yang tidak baik karena
masih bisa diperbaiki nanti kalau sudah besar.
Padahal usia 0-2 tahun ini adalah usia pembentukan worldview yang sangat
vital, yang mana akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pengertian
anak nantinya, serta permulaan pembentukan kebiasaan yang akan menentukan
seluruh tingkah lakunya seterusnya. Pada
usia ini anak pertama kali menyusun pengertian tentang dunia dan dirinya mulai
dari tahapan yang paling sederhana. Di
usia inilah anak mulai mengerti apa yang boleh apa yang tidak boleh, apa yang
bisa apa yang tidak bisa, apa yang baik dan tidak baik, apa yang menyenangkan
dan yang tidak, apa yang enak dan tidak enak, dalam kaitannya dengan dirinya
sendiri.
Semua sensasi yang anak rasakan dan alami diinterpretasikan olehnya sesuai dengan kenyamanan sensori yang dialaminya. Jika nyaman akan diteruskan, jika tidak maka akan dihindari. Maka di usia inilah pertama kali anak sebetulnya belajar etika dan bagaimana menjadi makhluk bermoral. Perlu diingat bahwa setiap manusia yang lahir di bumi ini setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kecuali Tuhan Yesus, sudah tercemar oleh dosa. Maka anak yang kecil ini sudah membawa dalam dirinya dosa dan penyimpangan. Natur dosa adalah melanggar hukum Tuhan. Maka jika usia anak 0-2 tahun anak dibiarkan dalam dirinya sendiri yang tercemar di dalam dosa ini, maka natur dosanya akan dipelihara dan ditumbuhkembangkan sejak dia kecil. Seluruh worldview dia akan dibentuk dengan konteks pembiaran di mana tidak ada intervensi yang memberikan batasan mengenai mana yang baik, mana yang jahat, mana yang benar, mana yang salah. Kondisi tanpa intervensi ini berbahaya.
Semua sensasi yang anak rasakan dan alami diinterpretasikan olehnya sesuai dengan kenyamanan sensori yang dialaminya. Jika nyaman akan diteruskan, jika tidak maka akan dihindari. Maka di usia inilah pertama kali anak sebetulnya belajar etika dan bagaimana menjadi makhluk bermoral. Perlu diingat bahwa setiap manusia yang lahir di bumi ini setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kecuali Tuhan Yesus, sudah tercemar oleh dosa. Maka anak yang kecil ini sudah membawa dalam dirinya dosa dan penyimpangan. Natur dosa adalah melanggar hukum Tuhan. Maka jika usia anak 0-2 tahun anak dibiarkan dalam dirinya sendiri yang tercemar di dalam dosa ini, maka natur dosanya akan dipelihara dan ditumbuhkembangkan sejak dia kecil. Seluruh worldview dia akan dibentuk dengan konteks pembiaran di mana tidak ada intervensi yang memberikan batasan mengenai mana yang baik, mana yang jahat, mana yang benar, mana yang salah. Kondisi tanpa intervensi ini berbahaya.
Tuhan mewahyukan di dalam Amsal 29:15 ini
bahwa anak tidak boleh dibiarkan. Berarti harus ada intervensi. Intervensi tongkat dan teguran. Tongkat di sini dimengerti sebagai
didikan. Didikan dipahami sebagai
standar jalan hidup yang benar. Teguran
dimengerti sebagai tindakan korektif. Jika
anak berlaku yang menyimpang dari didikan (jalan hidup yang benar), maka orang
tua diperintahkan untuk memberikan tindakan korektif. Natur dosa tidak boleh dipelihara dan
ditumbuhkembangkan. Teguran berfungsi
untuk mematikan natur dosa yang mendikte anak untuk menikmati dosa. Maka teguran ada di sana untuk menghentikan
kenikmatan akan dosa. Tongkat itu
berdiri di sana sebagai acuan untuk standar hidup yang benar. Ketika tongkat dipakai dan didirikan sebagai
standar dalam hidup anak, maka terjadi benturan. Benturan antara didikan Tuhan dengan natur
dosa yang menolak didikan Tuhan. Tongkat
harus berdiri dengan tegas dan ketat, maka natur dosa tidak akan merasa
nyaman. Anak tidak diijinkan untuk
merasa nyaman di dalam tindakan dosa. Dengan
demikian anak diluruskan jalannya. Tidak
boleh dibiarkan. Pembiaran akan
mempimpin kepada anak menjadi liar. Semakin
anak nantinya bertumbuh, semakin wataknya terbentuk, semakin kebiasaan
terformasi, maka semakin sulitlah menegakkan tongkat dan teguran. Semakin besar anak semakin ada perlawanan
terhadap penegakan tongkat dan teguran.
Maka sejak anak masih sangat muda, yaitu di usia yang dikata anak masih
sangat kecil, belum tahu apa-apa, beleum mengerti dan seterusnya, anak sudah
perlu diberikan arah yang benar dan teguran yang menghalangi pembentukan
kenikmatan tindakan dosa.
Secara konkritnya, karena anak usia 0-2
tahun memang masih belum bisa memahami kata-kata yang kompleks, maka metode
pendidikan adalah melalui yang terkenal disebut sebagai rewards dan
punishment. Secara praktis metode ini
bisa dilakukan mulai dari level yang paling lembut sampai yang paling
keras. Secara umum kelembutan dan
kekerasan ini berhubungan dengan punishment.
Rewards biasanya tidak terlalu dipermasalahkan, walaupun sebetulnya
rewards ini mengandung potensi yang sangat berbahaya jika tidak berhati-hati
pada proporsi dan frekuensinya. Perihal
punishment, kelembutan bisa dikerjakan sekitar penegasan mana yang boleh mana
yang tidak boleh. Misal anak suka
memasukkan barang ke dalam mulut, jika hendak menghalangi terbentuknya
kebiasaan tersebut maka dengan teknik punishment kelembutan adalah dengan cara
orang tua mengambil barang tersebut dari anak dan memindahkannya ke tempat lain
yang tidak terjangkau. Ini dilakukan berulang-ulang dengan semua barang yang
anak masukkan ke mulut. Tetapi perlu
saya sampaikan disini, jangan biarkan ada barang apapun yang bisa menyebabkan
anak menelannya dan tersedak, sebab barang dengan ukuran tertentu itu akan
dapat menyebabkan kematian anak. Barang-barang
favorit anak akan termasuk ke dalam list barang-barang yang harus dipinggirkan
karena anak memasukkannya ke dalam mulutnya.
Maka suatu saat kemungkinan anak akan frustrasi dan menangis karena
tidak ada lagi barang di sekelilingnya, khususnya barang favorit dia, yang bisa
dimasukkan ke mulut dia. Kefrustrasian
dia menjadi bentuk ketidaknyamanan yang diharapkan akan membuat anak jera. Di sini punishment yang lembut dipakai untuk
menghalangi terbentuknya kebiasaan yang tidak diinginkan. Umumnya tindakan punishment ini dibarengi
dengan pengertian yang disampaikan kepada anak secara sederhana tetapi
berulang-ulang. Misal orang tua dengan
sederhana sembari meminggirkan barang yang dimasukkan ke mulut dengan
mengatakan: “Tidak boleh masuk mulut.” Kombinasikan
hal ini dengan rewards yaitu ketika anak lapar maka orang tua memberikan
makanan, dimana makanan masuk ke mulut, disana ada koneksi yang terbentuk yang
seakan mengatakan bahwa makanan boleh masuk mulut. Makanan, apalagi yang favorit anak, adalah
bentuk rewards yang memberikan interpretasi akan apa yang boleh. Maka kombinasi rewards dan punishment ini
membawa kepada pengertian paling sederhana dari apa yang boleh atau tidak.
Ada punishment yang
lebih keras, yaitu dengan spanking misalnya.
Yaitu ada penerapan rasa tidak nyaman secara langsung kepada anak. Di sini penggunannya harus hati-hati
sekali. Kekuatan harus diukur. Frekuensi juga harus diatur. Dan perlu disimpan untuk hal-hal yang
sifatnya sangat serius. Zaman modern ini seringkali menghindari penggunaan
punishment yang keras seperti ini. Sebab
asumsi pendidikan modern adalah pada pengertian manusia yang tidak
berdosa. Maka penggunaan punishment
tidak diperlukan. Ini adalah diskusi
yang cukup panjang. Dan artikel ini
bukanlah tempatnya. Tetapi cukuplah saya
menyampaikan bahwa usia 0-2 tahun sangatlah krusial untuk dijalankan
pendidikan, khususnya intervensi, sehingga anak tidak dibiarkan berbuat
semaunya. Tujuannya adalah untuk membawa
anak kepada kehidupan yang benar.
Intervensi ini tidak dimulai ketika anak sudah besar, tetapi justru
intervensi ini harus dilakukan mulai usia 0-2 tahun ini.
1 comment:
Terima kasih infonya pak Ferry
Post a Comment