1Saudara-saudaraku,
janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa
sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.
Yakobus 3:1
Di
zaman dimana gajahpun bisa dilatih untuk melukis, kita menghadapi persoalan
berat dalam ranah pendidikan, yaitu hakekat guru sedang diremehkan dan
diturunkan pada level operator mesin. Kelangkaan guru
menjadi titik balik perubahan radikal pendidikan di zaman revolusi
industri. Dengan pola piker bahwa
sesuatu haruslah bisa direplikasi, maka gurupun diusahakan untuk direplikasi
sebanyak mungkin demi memenuhi kebutuhan pasar pendidikan. Bersamaan dengan itu pula pendidikan
direduksi pengertiannya sampai pada pemahaman bahwa yang namanya pendidikan
adalah sekolah. Formalisasi pendidikan
memimpin kepada institutionalisasi pendidikan.
Maka sekolah menjadi simbol pendidikan.
Dengan demikian sekolah akhirnya dipandang sebagai pabrik penghasil produk-produk
yang disebut lulusan. Untuk memastikan supaya kualitas lulusan memiliki
standar yang sama, maka diperlukan mekanisme proses fabrikasi yang memenuhi
standar minimum. Karena semua jenis pendidikan
pasti harus bergantung kepada guru, maka ketersediaan guru menjadi topik yang
sangat penting. Dengan standar ideal
seorang guru, sangatlah sulit membentuk dan mencetak guru dengan kualitas yang
seharusnya. Maka terjadilah reduksi di
sana sini. Hal ini dimungkinkan karena
pola pikir revolusi industri sudah mendominasi, sehingga pendidikan pun sudah
dianggap sebagai industri yang mana sekolahlah yang menjadi wakilnya.
Reduksi yang umum terjadi di industri sekolah
adalah kualitas guru yang disesuaikan dengan tujuan pencapaian sekolah. Di
dalam bisnis, produk yang dibuat diatur sesuai dengan target pasar yang
diambil. Demikian juga dengan industri
sekolah. Jika target pasarnya adalah
menyediakan pendidikan formal level biasa-biasa, maka kualitas gurupun hanya
dibutuhkan yang biasa-biasa saja. Demikianlah
terjadi penurunan kualitas guru. Tetapi
masalah ketersediaan guru ternyata tidak pula terselesaikan. Karena masih saja kurang jumlah guru yang
diperlukan. Maka tak jarang ditemukan
kelas yang tidak ada gurunya atau guru yang harus merangkap melampaui kapasitas
tenaga dan waktu yang dimilikinya. Hal
ini menimbulkan keresahan, sebab kualitas yang diharapkan sesuai dengan target
pasar tidak dapat dikontrol dengan baik.
Maka industri sekolah akhirnya harus menemukan cara baru untuk mengatasi
masalah ini. Reduksi yang lain lagi
diciptakan, yaitu dengan membuat mesin.
Dalam konteks industri sekolah mesin yang dimaksud bukanlah suatu
perangkat yang beratnya 2 ton, tetapi mesin dari sekolah adalah kurikulum. Kurikulum dibuat sedetil mungkin lepas dari kepribadian
dari tiap guru masing-masing dan dipetakan dalam perencanaan unit, pelajaran
harian, sampai kepada manual guru dan buku teks. Sehingga guru yang berkompeten di bidangnya
tidaklah lagi terlalu diperlukan. Yang
dibutuhkan hanyalah seseorang yang bisa membaca dan mengikuti serta menjalankan
“mesin” persis sama dengan instruksi yang ada di buku teks dan manual
guru. Dengan “mesin” ini sekolah tidak
lagi membutuhkan mencari seorang guru, karena semua orang bisa menjadi “guru.”
Labelnya
sama, guru, tetapi isinya sudah jauh dari makna guru yang seharusnya. Sehingga hakekat guru yang asli sudah
direndahkan sampai pada level yang sangat hina.
Kalau gajah saja bisa dilatih untuk melukis, maka setiap orang tentunya
dapat dilatih menjadi guru. Inilah kecelakaan
besar dalam dunia pendidikan yang saat ini menimbulkan keruwetan dan kerusakan
parah dalam semua lini kehidupan. Sebab
mereka yang disebut guru ini sebetulnya banyak dari mereka bukanlah betul-betul
guru. Mereka hanyalah bekerja sebagai
guru demi sesuap nasi. Pola pikir
revolusi industri akhirnya betul-betul mendominasi pendidikan yang mereduksinya
menjadi sebuah pabrik penghasil suatu jenis komoditas.
Yakobus
dengan tegas menyampaikan bahwa jangan banyak yang menjadi guru, sebab guru
akan dihakimi lebih berat. Prinsip ini
adalah prinsip yang universal. Industri
sekolah buta akan hal ini. Tetapi bukan
berarti prinsip ini sudah tidak lagi berlaku.
Prinsip ini tetap berlaku. Semua
guru bertanggungjawab kepada pemberi tugas yang paling tinggi, yaitu Tuhan
sendiri. Tugas yang diberikan adalah
tugas yang sangat fundamental, yaitu mendidik manusia untuk menjadi manusia
sejati. Guru tidak bisa lari dari tugas
ini. Sebab tugas ini tidak dibuat oleh
manusia. Tugas ini tidak dicipta untuk
memenuhi kebutuhan pasar. Tugas ini
sudah ditetapkan oleh Tuhan dari surga sejak sebelum dunia dijadikan. Maka siapapun yang berani memakai label guru
harus bertanggungjawab kepada Tuhan sebagai pemberi tugas. Yakobus memberi peringatan adalah dalam
kaitannya dengan betapa penting dan seriusnya jabatan sebagai guru. Guru memegang peranan yang sangat
penting. Guru membentuk dan mengarahkan
jiwa, pikiran, pengertian, kemampuan, keahlian, murid-muridnya. Pengaruh guru terlalu besar. Walaupun direndahkan sebagaimanapun secara
ekonomi sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa guru masih tetap berpengaruh
terlampau besar bagi murid-muridnya. Tidaklah heran jika
dikatakan bahwa guru akan dihakimi lebih berat.
Sebab jika anak belajar sesuatu yang keliru atau bahkan jahat, maka
perlu ditemukan siapakah yang mengajarinya.
Jika anak belajar bahwa 2x2 adalah 7, sedangkan guru selalu menemani,
maka guru bertanggungjawab atas kesalahan muridnya. Guru punya kesempatan mengkoreksi dan sudah
semestinya mengkoreksi. Jika murid
dibiarkan saja sedang guru tahu, maka guru menanggung kesalahan muridnya dengan
lebih berat. Ini sebab Yakobus menyampaikan peringatannya supaya
orang tidak main-main menjadi guru.
Dengan
demikian, pendidikan secara keseluruhan pun harus waspada atas peringatan
universal ini. Apa yang sudah dibuat
dalam sistem pendidikan saat ini berkontribusi dalam reduksi nilai dan standar
guru yang seharusnya. Maka industri
sekolah termasuk semua pengambil keputusan yang berani memutuskan untuk
mengikuti sistem atau filsafat pendidikan tertentu juga akan bertemu dan
bertanggungjawab kepada Tuhan sebagai pemberi tugas pendidikan. Janganlah hal ini disepelekan. Prinsipnya adalah, janganlah menjadi guru
jika tidak memenuhi standar yang seharusnya untuk menjadi guru. Walaupun gajah bisa dilatih untuk melukis,
gajah tidak pernah bisa melukis secara otentik dan orisinil. Sehingga gajah hanya bisa melukis sesuai pola
yang diberikan, dan ini artinya tidak ada gajah bisa menjadi artis. Sedangkan manusia dapat menjadi artis yang
menghasilkan mahakarya-mahakarya agung.
Maka memang benar orang bisa dilatih untuk menjalankan mesin kurikulum,
tetapi belum tentu dia bisa menjadi guru.
Sebab tidak semua orang dipanggil menjadi guru, dan tidak semua orang
diberi oleh Tuhan karunia menjadi guru. Hanya mereka yang
dipanggil menjadi guru diberikan karunia menjadi guru. Jika tidak terpanggil menjadi guru, maka
janganlah menjadi guru, sebelum kerusakan yang besar terjadi.
No comments:
Post a Comment