6Apa
yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, 7haruslah
engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan
membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam
perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. 8Haruslah
juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi
lambang di dahimu, 9dan haruslah engkau menuliskannya pada
tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Ulangan
6:6-9
Perintah
Tuhan kepada Musa adalah supaya para orang tua mendidik anak-anaknya.
Tanggungjawab pendidikan anak ada di pundak orang tua, bukan pada orang lain.
Orang tua harus menyadari bahwa setiap interaksi anak dengan lingkungannya atau
dengan orang di sekitarnya selalu memiliki potensi pendidikan. Pengertian
ini diperjelas oleh John Dewey dalam diksusi soal educative dan miseducative
experience. Tetapi sebetulnya Konghucu sudah pernah mengatakan
perihal pengaruh ini yaitu ketika Konghucu mengatakan bahwa ketika dia berjalan
dengan dua orang, dua orang tersebut menjadi seperti guru bagi dia, tetapi
Konghucu mengambil yang baik dan belajar darinya, dan membuang yang buruk.
Aplikasi pengajaran Konghucu sangat berguna bagi mereka yang sudah memiliki
pikiran yang solid seperti Konghucu sendiri. Implikasi ajaran Konghucu
adalah bahwa anak-anak yang notabene belum punya pikiran yang solid, tidak akan
bisa menyortir pengaruh baik atau buruk, tetapi semakin muda anak justru akan
mengabsorbsi semuanya baik ataupun buruk. Maka karena ada dua macam educative
experience, yang pertama yang educative (yang baik) dan yang kedua
adalah miseducative (yang buruk), orang tua tidak boleh membiarkan anak
dipengaruhi hal yang buruk. Oleh karena itu orang tua perlu memperhatikan
pengalaman macam apa yang kira-kira akan anaknya alami? Termasuk apakah
anaknya akan “diasuh” oleh babysitter (suster) atau tidak.
Trend
di kalangan menengah ke atas di Indonesia
adalah menyerahkan anak kepada suster sementara orang tua boleh memiliki
sedikit kebebasan untuk bekerja (alasan utama), memiliki “me time,”
bersosialisasi, beristirahat, dan meringankan beban mengasuh anak. Maka
jika anak, misal dalam satu bulan pertama khususnya, bangun tengah malam perlu
diganti popoknya, bukan orang tua yang bangun, tetapi susternya yang bangun
mengganti popoknya. Dalam satu kasus ini saja kita bisa melihat bahwa hal
seperti mengganti popok ini dianggap bukan hal penting untuk keterlibatan orang
tua, selain orang tua mengeluarkan uang untuk membeli popok. Sebab mengganti
popok hanya dipandang sebagai hal fisik yang diperlukan bayi dan tetapi
mengganggu ritme hidup orang tua. Pandangan seperti ini kehilangan esensi
kedekatan orang tua dan anak yang akan sangat penting sebagai modal pendidikan
anak. Sebab orang tua sendiri, pertama, perlu belajar mengenal anaknya.
Tanpa “guru”
mengenal “murid” maka pendidikan tidak akan berjalan dengan baik. Tidak
mengganti popok anak sendiri membawa kepada void dalam pengenalan anak
mulai dari awal. Hal ini kelihatan sepele, tetapi sebetulnya sangat
kritis. Kedua, bagi anak sendiri, dia jadi tidak mengenal orang tuanya
sebab tiap malam, entah berapa kali semalam, orang tua tidak pernah ada di sana
mengganti popoknya. Anak tidak mendengar suara orang tua yang berusaha
berkomunikasi dengannya atau berusaha menenangkannya. Anak juga tidak
merasakan sentuhan orang tuanya ketika membersihkan pantatnya, menggendongnya,
menyanyikan lullaby, meletakkannya kembali di tempat tidur, lalu mencium
dahinya atau pipinya. Semua void itu memiliki akibat. Dan
akibatnya akan bersifat akumulatif. Sebab posisi orang tua digantikan
oleh suster, dimana susterlah yang jadi lebih mengenal anak, dan anak jadi
lebih mengenal suster. Dan ini secara khusus terjadi justru di usia yang
sangat berharga sekali, 0-2 tahun. Tiap keputusan ada harga yang harus
dibayar. Keputusan menyerahkan penggantian popok kepada suster di tengah
malam sehingga orang tua bisa tetap tidur (biasanya bukan hanya tengah malam,
tetapi juga setiap ganti popok), harganya adalah hilangnya pengenalan orang
tua-anak. Keputusan mengganti sendiri popok sendiri juga ada harganya,
yaitu tidur yang terganggu, rasa capek dan lelah, serta interupsi-interupsi
dari ritme kebiasaan.
Soal popok tadi hanyalah salah satu
dari sekian banyak aktifitas lain yang terjadi secara alamiah, misal mandi,
makan, menggendong, atau memegangi waktu belajar berjalan. Semua
aktifitas tersebut adalah kesempatan pengenalan orang tua-anak. Jika
semua aktifitas tersebut diserahkan kepada suster, maka kesempatan tersebutpun
akan hilang. Yang terjadi adalah pengenalan suster-anak. Secara
tidak disadari terjadi pengaruh suster terhadap anak yang cukup besar.
Transfer pengetahuan dan kebiasaan pun akan terjadi secara tidak disadari hanya
karena suster berinteraksi lebih banyak dan lebih lama dengan anak.
Justru ini terjadi ketika anak dianggap tidak punya pengertian. Padahal
masa-masa anak belum bisa berinteraksi secara intelligible dengan bahasa
kompleks adalah masa prime-time anak mengabsorbsi semua yang dapat ditangkap
dengan sensori dia. Jika orang tua menyadari apa yang mereka kehilangan,
maka mereka akan berpikir ribuan kali sebelum menyerahkan anak untuk diasuh
oleh suster. Sebab implikasi pengaruh suster kepada anak tidaklah dengan
mudah dapat dihapus. Belum lagi rasa kehilangan anak atas orang tuanya
yang tidak banyak berinteraksi dengan dia pada saat dia masih sangat kecil,
tidak akan bisa dihapus dari alam bawah sadarnya. Rasa itu akan tetap ada
di sana. Ini kita belum berbicara mengenai rasa aman, nyaman, dan
lain-lain.
Pendidikan
otomatis tidak dapat disalurkan dengan baik dari orang tua kepada anak karena
waktu interaksi menjadi sempit dengan adanya suster yang mengurus hal-hal dasar
kebutuhan anak. Mengapa? Karena pengurusan hal-hal dasar kebutuhan
anak ini menyita waktu hampir seluruh waktu anak ketika anak masih di bawah 5
tahun. Bahkan untuk waktu bermain pun susterlah yang seringkali lebih
banyak hadir bagi anak. Waktu 5 tahun pertama itu dilabeli oleh semua
ahli pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai waktu emas anak. Maka
kalau waktu emas itu hilang dari keterlibatan orang tua, maka orang tua akan
kehilangan modal yang sangat penting sekali dalam pendidikan anak. Di kedepannya akan
mengalami lebih banyak kesulitan dalam mendidik anak. Apalagi dengan
adanya sekolah yang bisa berfungsi sebagai tempat penitipan anak, sehingga
orang tua bisa berkonsentrasi dengan apa yang mereka mau lakukan saja. Masa
18 tahun akan hilang dalam sekejap mata. Dan kalau sudah hilang tidak
akan kembali. Maka perintah Tuhan untuk mendidik anak lewat begitu saja
tanpa orang tua ada kesempatan berharga menanamkan taurat Tuhan dalam diri anak.
Ini terjadi karena kesempatan di waktu emas dilewatkan dan kurang dianggap
serius. Kurang dianggap serius sebab dianggap interaksinya hanyalah
sebatas interaksi fisik yang praktis tanpa ada muatan pendidikan di sana.
Padahal semua interaksi fisik praktis tersebut mengandung muatan pendidikan
yang sangat dalam dan mendasar, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil.
Setiap kesempatan sangatlah berharga. Misal saja ketika anak sudah bisa
makan makanan keras, anak mulai melihat beragamnya makanan dia, ada yang warna
oranye, ada yang hijau, ada yang putih, ada yang kuning, dan lain-lain. Itu
adalah kesempatan orang tua bisa berkomunikasi kepada anak tentang apa saja
yang dimakan anak. Orang tua bisa menceritakan bahwa yang warna oranye
itu adalah wortel, dan wortel mengandung banyak vitamin, khususnya vitamin A,
yang baik untuk pertumbuhan, dan khususnya baik untuk mata. Hijau adalah
dari sayur-sayuran seperti brokoli yang banyak mengandung zat besi yang sangat
baik untuk kesehatan darah. Dan seterusnya. Belum lagi
cerita-cerita dongeng atau bahkan cerita biografi diri orang tua atau juga
cerita-cerita Alkitab bisa diceritakan ke anak selagi anak itu makan. Terlalu
banyak disebutkan satu persatu di sini. Tetapi ini adalah ilustrasinya.
Maka jika kita mau simpulkan, suster
atau tidak? Pikirkanlah mengenai hal-hal diatas yang sudah kita bahas.
Pikirkan tentang kedekatan orang tua-anak. Pikirkan soal pengenalan orang
tua-anak. Pikirkan semua itu karena itu adalah modal pendidikan anak.
Pikirkan soal waktu emas, kesempatan tak ternilai yang dapat lenyap dengan
sekejap mata. Akankah kau serahkan semua itu kepada suster, sehingga
susterlah yang mendapat kesempatan mempengaruhi/mendidik anakmu di usia emas?
Saya berdoa supaya para orang tua diberi bijaksana dari sorga untuk mengambil
keputusan yang tepat dan boleh menjadi saluran berkat Tuhan bagi anak-anak di
dalam pendidikan mereka supaya mereka boleh berdiri teguh dan berjalan di atas
taurat Tuhan.
No comments:
Post a Comment