1Dengarkanlah,
hai anak-anak, didikan seorang ayah , dan
perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian, 2karena aku memberikan ilmu yang baik
kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku.3Karena
ketika aku masih tinggal di rumah ayahku sebagai anak, lemah dan sebagai
anak tunggal bagi ibuku, 4aku diajari ayahku, katanya kepadaku:
"Biarlah hatimu memegang perkataanku; berpeganglah pada
petunjuk-petunjukku, maka engkau akan hidup.
Amsal
4:1-4
Ayah
memiliki peran yang sangat penting di dalam pendidikan anak. Di tengah
zaman modern ini dimana kebutuhan dapur dan meja makan menjadi nomor satu, ayah
seringkali absen dari pendidikan anak. Ayah bangun pagi sekali untuk berangkat
bekerja. Pagi jauh sebelum anak bangun. Dan sepanjang hari ayah bekerja.
Larut malam ayah baru pulang dari bekerja. Waktu ayah sampai di rumah
anak sudah tidur. Setiap hari kerja anak tidak pernah bertemu dengan
ayah. Tidak ada interaksi antara ayah dan anak. Waktu akhir minggu
ayah baru bisa bertemu dengan anak. Dan pada saat itu ayahpun ingin libur
dari bekerja. Kebanyakan hanya ingin bersenang-senang. Maka
interaksi ayah dan anak hanya terjadi sebatas bersenang-senang. Makan di
resto, main di mall, nonton bioskop, belanja, dan seterusnya. Tetapi
tidak terjadi interaksi serius dimana ada proses pendidikan yang
sungguh-sungguh terjadi. Tidak ada
transfer pengetahuan dan keahlian, apalagi transfer pandang semesta (world
view) dari ayah kepada anak. Tidak juga ada proses pembentukan karakter anak yang
dikerjakan oleh ayah. Sebab sepanjang ayah pergi, biasanya ibu yang
memang peran penting di dalam pendidikan anak. Tetapi jika melihat laju
kehidupan modern ini, bahkan ibu pun tidak ada di rumah. Karena baik ayah
dan ibu, dua-dua nya pergi bekerja. Anak-anak di rumah bersama dengan
inang pengasuh saja. Kalau anak sudah usia sekolah, maka anak
menghabiskan 7-8 jam di sekolah bersama orang lain yang kita sebut secara formal
sebagai guru. Padahal otoritas utama dan pertama dan alamiah diberikan
Tuhan kepada orang tua. Tetapi
struktur kehidupan modern membuat ayah absen dari kehidupan anak.
Di
dalam kondisi absen tersebut, sangatlah sulit mengharapkan ayah menegakkan
disiplin, mendidik anak untuk tetap berada pada koridor yang benar. Sebab
anak tidak lagi mengenal ayahnya. Pelan-pelan otoritas ayah menjadi
luntur. Dan ayah tidak lagi memiliki keberanian untuk bersikap tegas
kepada anak. Karena ayah tidak bertemu anak dalam waktu lama, maka ada
tumbuh rasa bersalah dalam diri ayah. Dan rasa bersalah ini diekspresikan
dengan cara memberikan apapun yang anak mau. Dengan demikian maka ayah
akan merasa lebih lega karena rasa bersalahnya dikurangi. Tetapi justru
hal ini menumpuk kepincangan dalam pendidikan. Ayah yang seharusnya
menjadi sosok ketegasan dan disiplin malah menjadi lembek karena rasa
bersalah. Maka terjadilah penumpukan masalah dalam pendidikan anak, yang
implikasinya ada berjuta-juta kasus negatif yang muncul dari konteks seperti
ini.
Alkitab memberikan hikmat secara umum
sesuai dengan pengertian universal yang berpusat pendidikan ilahi, yaitu bahwa
didikan ayah memberikan hidup bagi anaknya: “Biarlah hatimu memegang
perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan hidup.”
Petunjuk-petunjuk dan perkataan ayah memiliki kepentingan pendidikan yang
membawa anak-anak memiliki hidup. Secara alamiah ada naluri dasar yang
diberikan oleh Tuhan kepada semua ayah untuk memberikan petunjuk kepada
anak-anaknya yang bertujuan kebaikan bagi mereka. Kita patut bersyukur atas naluri alamiah yang diberikan
Tuhan ini kepada kita. Tetapi naluri alamiah seperti ini harus
dipelihara. Jika tidak dipelihara maka naluri alamiah itu akan
mati. Apa yang terjadi dengan kehidupan modern adalah proses mematikan
naluri alamiah tersebut secara perlahan. Ketika ayah absen dalam
kehidupan anak, dan proses pendidikan tidak berlangsung dengan seharusnya, maka
anak-anak tidak lagi mendapat instruksi yang memimpin kepada kehidupan.
Setiap anak pasti haus akan instruksi. Maka jika dia tidak mendapatkan
dari ayahnya, harus ada kompensasi dari situasi tersebut. Anak biasanya akan
mengabsorbsi instruksi-instruksi yang lain, entah dari mana asalnya. Ini
adalah naluri alamiah dari anak. Siapapun yang dianggap oleh dia sebagai
orang yang lebih dewasa dan bisa memberikan instruksi akan menjadi sumber
instruksi yang akan didengarkan oleh anak. Disini potensi krisis sangat
kental sekali. Sebab anak bisa mendapatkan instruksi yang sama sekali
jauh dari firman Tuhan. Dan jika kita menarik benang merah yang menjadi
sebab semua ini, kita mau tidak mau menemukan absennya sang ayah menjadi
penyebab utama.
Dengan
demikian, ayah semestinya tidak boleh absen dalam hidup anak-anaknya. Kehadiran ayah
sendiri sudah memberikan kehadiran penegakan pendidikan yang tidak dapat
diganggu gugat. Otoritas ayah di dalam hidup anak-anaknya memberikan
garis batas mana yang boleh mana yang tidak boleh, mana yang benar mana yang
salah, mana yang baik mana yang jahat. Instruksi-instruksi ayah menuntun
hidup anak kepada kehidupan yang seharusnya. Atas dasar ini semua, peran ayah sangatlah krusial dalam
pertumbuhan anak dalam usia berapapun. Jika Tuhan memberikan kesempatan
ayah untuk boleh hidup menyaksikan anak-anaknya bertumbuh, maka tanggungjawab
pendidikan oleh ayah kepada anak-anaknya perlu dikerjakan dengan sangat
serius. Karena saya yakin tidak ada satu ayah yang benar di dunia ini
yang menginginkan kematian anak-anaknya.
No comments:
Post a Comment